Pancasila di Bawah Ancaman Rawan Pangan, Energi, dan Ketidakmandirian Ekonomi

Acara Sarasehan Kebangsaan Oleh LDII
Acara Sarasehan Kebangsaan Oleh LDII

Sarasehan Kebangsaan mengenai Pancasila yang dihelat LDII, berusaha mencari solusi atas masalah yang dihadapi bangsa Indonesia. Dalam forum itu para pembicara menekankan, penyelenggara negara belum sepenuhnya menjalankan amanah pancasila dan UUD 1945.

Sarasehan Kebangsaan bertajuk Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara (9/11) dihadiri sekitar 200 orang yang terdiri dari para mahasiswa dan ormas Islam. Acara itu dihelat di Wisma Besar LDII di bilangan Patal Senayan, Jakarta. Para pembicara yang dihadirkan antara lain Hajriyanto Tohari, Wakil Ketua MPR RI, DR Yudi Latif, Direktur Reform Institute, Budiarto Shambazy, Redaktur Senior Kompas.

Menurut Ruly Bernaputra, Ketua Departemen Pemberdayaan Masyarakat DPP LDII sekaligus Ketua Panitia menyebut, LDII melakukan inisiatif diskusi ini untuk meneguhkan Pancasila sebagai falsafah negara, agar bangsa Indonesia melaksanakan kembali nilai-nilai Pancasila seutuhnya, “Di tengah keterpurukan ekonomi dan moralitas bangsa, radikalisasi berbentuk terorisme menunjukkan bahwa nilai-nilai Pancasila ditinggalkan. Penguasa tak lagi mengacu kepada distribusi kesejahteraan sementara masyarakat yang frustasi memilih menyalurkannya dalam kekerasan berbungkus agama,” ujar Ruly Bernaputra.

Acara ini, menurut Ketua Umum DPP LDII, Prof DR KH Abdullah Syam, Msc menjadi semacam pencarian jalan keluar dan kepedulian LDII terhadap nasib bangsa. LDII meyakini bila bangsa Indonesia konsisten kepada Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, Indonesia mampu mewujudkan keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan, “Bagi empat pilar itu final, yang menjiwai dakwah LDII yang merujuk kepada dakwah Nabi Muhammad SAW, dakwah yang menyejukkan, saling toleran, dan jauh dari kekerasan,” kata Abdullah Syam. Menurut Abdullah Syam, untuk menjalankan Islam tak perlu mendirikan negara Islam. Justru di tengah masyarakat yang Pancasilais, Islam dapat dilaksanakan dengan kaffah.

Sayangnya Pancasila saat ini sedang berada di lorong yang sunyi di tengah-tengah hiruk pikuk reformasi. Begitu keyakinan  Hajriyanto Thohari, Wakil Ketua MPR RI menyebut lahirnya Pancasila adalah perekat keanekaragaman bahasa, suku, bahkan kepulauan yang besar dan terbagi dalam tiga zona waktu – yang mustahil hanya terdiri dari satu negara.

“Indonesia adalah negeri yang luar biasa. Namun orang-orang Indonesia menganggap biasa keindonesiaan ini. Orang tak bisa melihat secara obyektif kalau melihatnya terlalu dekat atau terlalu jauh,” ujar Hajriyanto Thohari. Bahkan kebijakan pemerintah kerapkali tak berpihak kepada rakyat.

Hajriyanto menyebut struktur APBN yang jumlahnya Rp 1.300 triliun 60 persennya hanya habis untuk anggaran trutin, sementara alokasi kepada pembangunan hanya 20 persen. “Sila kelima paling sial nasibnya. Salah satu contoh saja, pengalokasian APBD yang sebagian besar untuk belanja rutin, gaji pegawai, anggota dewan. Sementara, untuk rakyat ada yang cuma 10 persen. Bahkan ada yang cuma 5 persen,” kata Hajrianto .

Anehnya, saat akhir pemerintahan Orde Baru struktur APBN yang sebesar Rp 172 triliun itu, alokasinya masih tetap sama hingga kini, “Padahal jumlahnya telah mengalami lompatan quantum. Apa tidak bisa dirancang agar anggaran rutin hanya 45 persen dan alokasi untuk pembangunan dibesarkan,” urai Hajriyanto.

Menurutnya, dengan jumlah penduduk nomor empat terbesar di dunia, Indonesia tak bisa ditangani secara taken from granted, “Kalau hanya mengurangi penduduk miskin 200 ribu tiap tahun, distribusi kesejahteraan sangat lambat,” urainya. Sementara, menurutnya, BPS hanya melaporkan angka, tak mencerminkan jurang kemiskinan yang kian lebar.

Menurutnya, ukuran miskin di Indonesia adalah mereka yang berpendapatan US$ 1 per hari. Itu bukan dengan kurs Rp 9.000 tapi Rp 7.000. Bandingkan dengan standar PBB yang US$ 2 atau gunakan kurs Rp 9.000, jumlah orang miskin di Indonesia bisa berkali lipat, bisa mencapai 30 juta orang.

Sementara itu, Budiarto Shambazy, Redaktur Senior Harian Kompas mengingatkan memandang Pancasila jangan hanya dari sisi nasional, di saat dunia sedang mempertautkan internasional-domestik atau global-lokal. Dalam pembukaan UUD 45 yang mengharuskan Indonesia berperan aktif dalam pergaulan dunia.

“Kita mungkin tak pernah tahu, bagaimana Pak Harto dan Bung Karno sering membantu Negara lain yang perlu dibantu sebagai bagian strategi meningkatkan posisi tawar Indonesia di mata dunia” ujar Budiarto.

Problema saat ini, menurutnya adalah bagaimana merebranding Pancasila dengan membuat motto yang bisa dimengerti dalam keseharian generasi muda. Pancasila saat ini hanya jadi olok-olok belaka. Amerika Serikat, menurutnya, mampu menghidupkan nasionalisme dengan rebranding. Misalnya ada aturan untuk film-film Amerika menayangkan bendera Amerika Serikat sekian detik untuk meningkatkan nasionalisme. Juga sekolah-sekolah di sana menulis besar-besar perihal kesetaraan di sekolah-sekolah dasar, agar generasi muda Amerika sadar sejak dini. “Yang membanggakan ideologi atau falsafah negara Singapura, oleh pemerintah Singapura diumumkan meniru Pancasila,” kata Budiarto.

Ancaman Rawan Pangan, Energi, dan Ketidakmandirian Ekonomi
Pengabaian Pancasila menurut Ir Prasetyo Soenaryo, MT, Ketua DPP LDII membawa konsekuensi dikuasainya Indonesia oleh korporasi global. “Penggunaan kekerasan senjata untuk menginvasi negara lain dinilai tak efektif lagi, maka ekonomi, sumber daya alam, bahkan budaya menjadi senjata baru dalam penjajahan. Inilah penjajahan model baru, sementara Indonesia tidak memiliki peraturan yang mengatur agar penjajahan gaya baru ini tidak leluasa menguasai Indonesia,” ujar Prasetyo Soenaryo. Dari sisi aturan, produk perundangan Indonesia jarang yang menyebut Pancasila, seperti UU Nomor 25 Tahun 2007 mengenai Penanaman Modal. Inilah yang membuat Pancasila terasing dari produk undang-undang yang seharusnya dijiwai oleh Pancasila.

Pada awalnya, korporasi global kesulitan menguasai sumber daya alam secara keseluruhan, karena sebagian besar di antaranya dikuasai publik. Maka mereka menguasainya dengan isu-isu privatisasi yang memungkinkan mereka mampu masuk ke sektor publik, “Mereka menggambarkan bagaimana tidak efisiennya BUMN, sementara di dalam negeri juga tak secepatnya membenahi dan menciptkan iklim yang kondusif bagi BUMN,” ujar Prasetyo Soenaryo.

Prasetyo juga melihat pemerintah tak segera melahirkan UU mengenai pengelolaan Sumber Daya Alam, seberapa besar pembagian yang harus diterima. Padahal semua itu adalah amanah UUD 45 pasal 33, “Hal ini menunjukkan produk kita tak saling terhubung, parsial dan sistemik yang tak memungkinkan Indonesia melakukan penguatan di bidang ekonomi, sebaliknya Indonesia di bawah ancaman rawan pangan, energi, dan ketidakmandirian ekonomi,” ujar Prasetyo Soenaryo.

Sementara itu Yudi Latif, Direktur Reform Institute menyebut antara Islam dan Pancasila memiliki keterikatan yang kuat, “Negeri ini tak berwajah muram, apabila sudah ada ormas Islam yang membicarakan Pancasila,” imbuh Yudi Latif.  Menurutnya sumbangsih Islam terhadap Pancasila sangat besar. “Saya yakin, LDII sebagai ormas Islam dapat mengambil peran utama untuk melaksanakan Pancasila terutama sila ke lima dari Pancasila” tambah Yudi.

Pancasila, menurutnya, adalah produk bersama antara golongan Islam dan Kebangsaan. Kalangan Islam misalnya, justru mendorong negara ini mengakui hak asasi manusia dan kebebsan beribadah, sementara kalangan kebangsaan mengusulkan adanya baitul mal, bahkan mengusulkan pencantuman Bismillah dalam pembukaan UUD 45. “Dengan mayoritas pemikir di sidang-sidang Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan yang umumnya beragama Islam, mustahil keputusan yang dihasilkan bertentangan dengan Islam,” ujar Yudi Latif.

Justru Sila Pertama itu, menurut Yudi Latif, harus menjiwai sila-sila lainnya. Islam mensyaratkan pemimpin yang rajin ibadah juga peduli terhadap rakyatnya. Pemimpin yang taat beribadah namun tak peduli dengan rakyatnya yang lapar, disebut Islam sebagai pemimpin yang zalim.

Sila pertama tak berdiri sendiri, justru menurut Yudi Latif, Sila Pertama memperlihatkan share value, yang melindungi berbagai agama yang ada di Indonesia. Baik agama mayoritas, maupun agama yang hidup secara tradisional di kalangan masyarakat.

Pancasila semacam cermin Madinah, di mana semua orang memperoleh perlindungan, dimuliakan dan perbedaan diakui. Begitu kata Yudi Latif. (danang/lantabur.tv)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here