kerukunan-umat Pada aspek social behavior, puasa memberikan hikmah—setidaknya—tentang kerukunan, kekompakan dan kerja sama yang baik. Kerukunan diperlukan untuk mengakumulasi energi positif manusia, sehingga mampu menghasilkan energi yang berlipat ganda. Dalam iklim kerukunan, energi seseorang ditambah dengan energi seseorang lagi tidak sama dengan energi dua orang, bahkan dapat lebih dari gabungan energi tiga bahkan empat orang. Ketidakrukunan akan mencampur energi positifdan negatif sehingga terjadi proses saling meniadakan yang berakibat tidak terakumulasikannya energi positif, sehingga menurunkan tingkat kedigdayaan umat.

Orang yang berpuasa menahan makan dan minum pada siang hari di bulan Ramadlan, mulai dari terbit fajar shadiq hingga matahari terbenam, ia akan merasakan betapa pahit dan getirnya menahan haus dan lapar itu. Terbakar rasanya rongga badan, lesu segala persendian, dan lemah segala anggota badan ketika melaksanakan puasa tersebut. Hal ini dirasakan oleh seluruh umat Islam yang taat kepada perintah agamanya, baik kaya maupun miskin, hina ataupun mulia, dan hina atau rendah.

Oleh sebab itu, ahli hikmah mengatakan bahwa puasa itu adalah sebagai neraca keadilan dari Ilaahi untuk menimbang supaya sama berat, untuk menguji sama banyak, sedikit pun tidak ada yang berlebih dan berkurang. Yang kaya tidak akan dapat membanggakan kemuliaannya, karena mereka itu sama-sama di dalam satu tingkatan, dalam satu neraca yang sama berat, yaitu dalam suasana haus dan lapar.

Dalam suasana kegetiran itu, bersamalah si kaya dan si miskin, yang mulia dengan yang hina, dan yang tinggi sama dengan yang rendah. Dapatkah mereka membayarkan atau berlomba-lomba kelebihan mereka masing-masing? Tentu saja tidak dapat, karena kenikmatan, ketinggian dan kemuliaan itu hanya dapat dirasakan dalam waktu yang biasa, di waktu kekuatan manusia sedang penuh oleh zat-zat makanan dan minuman, sehingga apa yang mereka inginkan ketika itu dapat tercapai.

Kekompakan diperlukan untuk membangun iklim solidaritas, karena kekuatan diantara orang per orang tidak sama, sehingga kehidupan saling membantu tanpa pamrih merupakan syarat tercapainya keutuhan dari kemungkinan gangguan yang disebabkan intervensi eksternal.

Dalam neraca keadilan, hati semua pihak terpancar cahaya keinsafan. Yang kaya ingat kepada yang miskin, yang mulia ingat kepada yang hina, dan yang tinggi ingat kepada yang rendah. Di sanalah mereka mempertemukan jiwa kesucian mereka, mempertemukan jiwa kasih sayang, perasaan menghormati antara satu dengan yang lainnya. Yang kaya didorong oleh perasaan sayang, lalu mengeluarkan sebagian hartanya untuk fakir miskin, yang tinggi didesak oleh rasa atau jiwa persamaan sehingga memandang yang rendah sebagai saudara seagama yang tidak boleh berlebih dan berkurang dalam hak asasinya. Yang mulia didesak pula oleh jiwa kesadaran terhadap kaum yang dianggap hina dina.

Suatu kesadaran penderitaan haus dan lapar yang mereka rasakan hanya empat belas jam sehari dan semalam—dan hanya dalam satu bulan itu pula—sedangkan waktu lainnya terkadang dipuaskan dengan makanan dan minuman, sehingga dengan kelezatan itu, hilanglah lesu yang diderita pada siang harinya. Sebaliknya, kaum melarat—dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, bahkan dari tahun ke tahun—senantiasa menahan lapar.

Kerja sama diperlukan untuk mengorganisasikan potensi yang dimiliki suatu kelompok untuk dapat mencapai suatu tujuan tertentu. Perlu dipahami bahwa hakekat kerja sama adalah menempatkan tujuan kelompok sebagai sasaran bersama yang utama, tidak harus merupakan penjumlahan dari persamaan tujuan dari anggota kelompoknya. Karena itu dalam mewujudkan kemampuan kerja sama, maka ada syarat kesediaan berkorban dari para anggota kelompoknya, tergantung dari konteks tujuan yang hendak dicapai.

Setelah ditinjau falsafah ringkas puasa, nyatalah betapa besar rahasia yang terkandung di dalamnya, yaitu dapat menghubungkan jiwa dengan jiwa, menimbulkan rasa cinta, kasih sayang, mengeratkan tali persaudaraan kepada sesama. Dengan sendirinya datanglah keamanan dalam masyarakat, hilanglah segala permusuhan, habis musnahlah hasad dan dengki. Manusia bergandengan tangan dan saling menghormati, umat dan masyarakat pun aman. Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghoffuur.

Demikian Percikan Permenungan yang bertajuk Hikmah Ramadlan (#2) kali ini. Muga2 Alloh paring aman, slamet, lancar, dan barokah. Amiin.

Alhamdulillahi Jazaa Kumullohu Khoiron.

Wassalam.

AA_Im (Sufi Berjalan Di Atas Teknologi)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here